Peningkatan Keaktifan Belajar Matematika Kompetensi Dimensi Dua Melalui Pemaduan Metode Team Accelerated Instruction dan Number Heads Together Siswa SMK Negeri 1 Purwokerto

PENINGKATAN KEAKTIFAN BELAJAR MATEMATIKA KOMPETENSI DIMENSI DUA MELALUI PEMADUAN METODE TEAM ACCELERATED INSTRUCTION DAN NUMBER HEADS TOGETHER SISWA SMK NEGERI 1 PURWOKERTO

Khairul Sholih Retno Broto

Abstrak:
Dalam praktik pembelajaran di kelas, khususnya di SMK Negeri 1 Purwokeno, keaktifan belajar siswa yang sangat rendah karena gaya belajarnya tidak terakomodasikan. Tujuan penelitian ini adalah mengethaui peningkatan keaktifan belajar dilihat dari aspek motivasi, interaksi, cooperative learning, dan pencapaian hasil belajar matematika siswa SMK melalui pemaduan metode team accelerated instruction dan metode number heads together dalam pembelajaran. Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 1 Punuokerto pada semester genap tahun pelajaran 2008/2009 dengan menggunakan penelitian tindakan kelas. Sebagai sampel diambil siswa kelas XAkuntansi 1 sebagai responden, yang terdiri dari 2 siswa Iaki-laki dan 34 siswa perempuan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan random sampling. Data dikumpulkan melalui tes dan nontes, yakni berupa soal tes, angket maupun lembar observasi. Data yang telah terkumpul ditabulasi. Data kualitatif terlebih dahulu dikuantitatitkan kemudian diprosentase untuk mengetahui tingkat keaktifan belajar siswa. Penelitian ini menghasilkan tingkat keaktifan belajar 84% pada siklus 1 dan meningkat menjadi 92% pada siklus 2. Sarah yang diberikan hendaknya guru memperhatikan perbedaan individual siswa (baik kemampuan, pengetahuan maupun gaya belajarnya) dan penerapan variasi metode pembelajaran termasuk memadukan beberapa metode dalam satu kegiatan pembelajaran. khususnya yang sesuai dengan kegiatan pembelajaran matematika, seperti metode TAI yang dipandu dengan NHT perlu dipraktikkan di kelas.
Kata kunci: keaktifan belajar, cooperative learning, dan belajar individual

Abstract: in the practice of classroom learning, especially in SMK 1 Purwokerto, students' learning activity is very low, because the learning style is not accommodated. The aim of this study is, knowing the increase active learning viewed from the aspect of motivation, interaction, cooperative learning, and achievement, the learning of mathematics, vocational students through the integration tean accelerated instruction method and the method number heads together in learning. The study was conducted in SMK Negeri 1 Purwokerto, in the second semester, school year 2008/2009 by using the cIass—action studies. As a sample is taken, X~class students as respondents accounting 1, which consists of 2 male students and 34 female students. Data collection techniques was carried out random sampling. Data were collected through tests and non—testing,. ie a matter of tests, questionnaires, and observation sheets. data has been collected tabulated. Qualitative data were collected Hrst, then the percentage, to detennine the level of activity belajara students. This research is providing improved learning activity cycle of 84% at 1 and increased to 92% in cycle 2. Advice given teachers should consider students' individual differences (both skills, knowledge, and learning styles) and the application of the variation of learning methods including combining several methods in one learning activity, especially in accordance with mathematical learning activities, such as TAI methods guided by NHTto practice in class.
Key words: active learning, cooperative learning, and individual learning

PENDAHULUAN
“You can tell students what they need to know very fast, but they will forget what you tell them even fastef (Silberman, 2007). Anda dapat memberi tahu peserta didik tentang apa yang perlu mereka ketahui dengan sangat cepat, namun mereka akan melupakannya dengan Iebih cepat. Dalam praktik pembelajaran di kelas, khususnya di SMK Negeri 1 Purwkerto, masih banyak dijumpai peran guru sebagai sentral kegiatan belajar siswa.
Cara mengajar konvensional dengan menjadikan guru sebagai satu-satunya sumber belajar dalam kegiatan belajar siswa tersebut saat ini menimbuikan kegiatan belajar siswa menjadi pasif. Pollio (dalam Silberman 2007) menunjukkan hasil penelitian yang menyebutkan bahwa dalam ruang kuliah akademik siswa tidak memperhatikan selama 40% dari waktu yang tersedia. Konsentrasi berpikir siswa terbatas. Dengan metode yang tidak menarik, konsentrasi siswa Iebih cepat menurun yang menyebabkan daya simpan informasi rendah.
Nienurut Silberman (2007), dalam keadaan konsentrasi siswa hanya dapat mendengar setengah dari apa yang dikatakan guru. Hal ini disebabkan karena siswa mendengarkan sambil berpikir sehingga kecepatan kita berbicara kepada siswa tidak secara otomatis menambah efektif kegiatan pembelajaran yang kita seienggarakan. Keaktifan belajar matematika tidak diperhatikan secara individual. Keterlibatan siswa daiam kegiatan pembelajaran masih sangat kurang. Siswa tidak diberi kesempatan untuk memiiih gaya beiajarnya maupun menentukan tujuan beiajarnya sendiri. Hal tersebut menyebabkan rendahnya tingkat keaktifan belajar matematika siswa.
Untuk meningkatkan keaktifan beiajar matematika, guru tidak cukup hanya mengandaikan satu metcde tertentu dalam pembelajarannya. Variasi metode dan teknik pembeIajaran penting untuk menggairahkan siswa dalam belajar. Hai ini disebabkan karena setiap siswa mempunyai gaya belajar sendiri-sendiri.
Siswa belajar matematika dengan berbagai kemampuan, pengetahuan, dan motivasi yang beragam. Hal inilah. yang memunculkan petingnya individuaiisasi dalam belajar matematika. Guru memberikan pelayanan belajar , individu bagi setiap siswanya, baik siswa yang bermasaiah/kemampuan beiajar kurang maupun siswa yang mempunyai kemampuan belajar iebih dalam materi pembeiajaran yang sama. Penelitian ini diiaksanakan untuk menjawab permasalahan apakah keaktifan belajar matematika siswa SMK di kelas dapat meningkat meialui pemaduan metode team accelerated instruction (TAI) dan number heads to-
gether (NHT)'?
Peneiitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan keak- tifan belajar matematika siswa SMK meialui pemaduan metode TAI dan NHT dalam kegiatan pembelajaran di keias.
Peneiitian ini diharapkan mmeberi manfaat kepada kegiatan beiajar siswa Iebih bermakna disebabkan karena siswa mendapat perhatian secara individual dalam kegiatan beiajarnya. Siswa yang mengalami kesulitan belajar akan dibantu tidak hanya oleh gurunya, tetapi oleh teman dalam kelompoknya. Siswa yang mempunyai kemampuan Iebih akan belajar mengamalkan ilmunya dan meningkatkan tanggungjawab kelompoknya.

LANDASAN TEORETIS
Keaktifan Belajar Matematika Berkaitan dengan keaktifan siswa belajar, Siberman (2007) menyatakan sebagai berikut.
"What I hean I forget. What I hear; see and ask questions about or discuss with someone else, I begin to understand. Whatl hean see, discuss and do, I acquire knowledge and skill. Whatl teach to another I master'.
'Apa yang saya dengar, saya Iupa. Apa yang saya dengar, Iihat dan tanyakanl diskusikan, saya mulai mengerti. Apa yang saya dengar, Iihat, diskusikan dan Iakukan, saya memperoleh pengetahuan dan keterampilan. Apa yang saya ajarkan kepada orang lain, saya menguasai'
Belajar adalah sebuah aktivitas yang kompleks. Guru sebagai fasilitator, harus menyediakan "fasilitas" sebesanbesarnya bagi terseleng-garanya aktivitas tersebut. Belajar yang sesungguhnya tidak akan terjadi tanpa ada kesempatan berdiskusi, membuat pertanyaan, mempraktikkan bahkan mengajarkan kepada orang lain (Silberman 2007). Menurutnya otak kita perlu mempertanyakan informasi, merumuskan atau menjelaskannya kepada orang Iain agar dapat menyimpannya dalam memori. Dengan demi kian, untuk meningkatkan keaktifan belajar matematika harus diperhatikan keaktifan siswa dalam berdiskusi, membuat pertanyaan, dan mengajarkan ilmu yang dipunyainya kepada teman belajarnya.
Zaini (2008) menyatakan bahwa gaya belajar atau learning style setiap peserta didik berbeda-beda. Ada peserta didik yang lebih senang membaca, berdiskusi, dan ada pula yang senang praktik langsung. Secara Iebih khusus, De Porter (2004) membagi gaya belajar siswa dalam 3 gaya, yakni pelajar visual, pelajar auditcrial, dan pelajar kinestik. Dengan demikian, untuk meningkatkan keaktifan belajar matematika seluruh gaya belajar siswa di atas juga harus mendapat perhatian dalam kegiatan pembelajaran.
Metode Team Accelerated Instruction (TAI)
Menurut Slavin (2009) TAI dirancang khusus untuk mengajarkan matematika. Metode ini memperhatikan siswa sebagai individu dan kelompok. Dalam kegiatan belajarnya, siswa secara individual bertanggung jawab terhadap hasil kerjanya, sekaligus hasil kerja kelompoknya. Tanggung jawab siswa secara bersama—sama meliputi mengelola kelompok, memeriksa secara rutin, saling bantu dalam menghadapi masalah, saling memberi dorongan untuk maju. Keaktifan belajar siswa terlihat dengan mengerjakan Iatihan individu dan kerja kelompok pada tiap—tiap kompetensi pembelajarannya.
Guru memfasiiitasi beiajar siswa secara individu maupun kelompok, dengan secara aktif puia mengunjungi keiompok yang satu ke kelompok Iainnya, untuk selanjutnya memberikan bantuan kepada keiompok yang memerlukan. Bantuan ini diberikan secara kelompok. Teknik pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan met0deTAI ini adalah sebagai berikut.
a. Guru membagi siswa dalam kelompck kecil.
b. Siswa diberi panduan dan soal latihan untuk dikerjakan secara individual.
c. Siswa dalam satu kelompok saling memeriksa hasil pekerjaan anggota kelompok yang Iain. Pada tahap ini terjadi diskusi kelompok, guru mengintervensi jika diperlukan. Sedapat mungkin permasalahan
diatasi 0leh kelompok masing-masing.
d. Setiap anggota kelompok bertanggung jawab atas hasil pekerjaan kelompoknya.
Number Heads Together
Metode ini memungkinkan untuk memacu semangat belajar siswa, baik yang mempunyai kemampuan rendah, sedang maupun tinggi. Semua siswa seialu mempersiapkan diri untuk mewakili kelompoknya. Siswa yang kemampuannya rendah akan berusaha meningkatkan kemampuannya dengan siswa lainnya. Demikian juga sebaIiknya, siswa dengan kemampuan tinggi pun akan berusaha meningkatkan prestasi kelompcknya. Dengan demikian, keaktifan beiajar siswa akan senantiasa terjaga.
Menurut Lee (2008) metode ini memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling membagikan ide dan mempertimbangkan jawaban yang paling tepat. Slavin (2009) menyatakan bahwa metcde ini sangat tepat untuk meningkatkan tanggung jawab individual dalam diskusi kelompoknya.
Teknik penyelenggaraan kegiatan beiajar dengan metode Number Heads Togetheradalah sebagai berikut.
a. Guru membagi siswa dalam kelomppk kecil setiap anggota diberi nnomor sejumlah anggota.
b. Guru membagikan naskah soal latihan.
c. Siswa mengerjakan soal latihan dengan kelompoknya.
d. Guru memanggil salah satu nomor untuk menyampaikan hasil diskusi kelompcknya.
Dalam penelitian ini kedua metode tersebut akan dipadu dalam satu tindakan pembelajaran. Diharapkan dengan pemaduan kedua metode di atas tingkat keaktifan beiajar Matematika siswa dapatakan cukup tinggi.
Kerangka Berfikir
Metode TAI sangat tepat untuk diaplikasikan dalam kegiatan pembelajaran matematika di SMK. Metode
ini mengkombinasi secara sinergis keaktifan beiajar siswa secara individual dan kelompok dalam waktu
yang sama. Metode NHT akan menuntut kesiapan semua individu dalam kelompok untuk menjadi wakil dari kelompoknya. Dengan demikian, tanggung jawab idividu dan tanggung-jawab kelompok senantiasa terjaga. Dari uraian di atas, metode TAI yang dipadu dengan NHT akan dapat meningkatkan keaktifan belajar Matematika siswa secara optimal.

METODE PENELITIAN
Setting Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di SMK Negeri 1 Purwokerto pada semester genap tahun pelajaran 2008/2009 dengan menggunakan penelitian tindakan kelas. Sebagai sampel diambil siswa kelas X Akuntansi 1 sebagai responden, yang terdiri dart 2 siswa laki—Iaki dan 34 siswa perempuan. Standar Kompetensi yang diajarkan dalam penelitian ini sesuai dengan program semester yang sedang dilaksanakan, yaitu dimensi dua.
Teknik Pengumpulan dan AnalisisData
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan random sampling. Data dikumpulkan meialui tes dan nontes, yakni berupa soal tes, angket maupun lembar observasi. Aiat pengumpul data digunakan terlebih dahuiu didiskusikan dengan rekan—rekan Guru yang terhimpun dalam MGMP Matematika sekolah untuk mendapatkan masukan guna meningkatkan efektivitas pengambilan data. Pada tiap siklus dilakukan review dan penyempurnaan teknik dan alat pengambilan datajika diperlukan.
Data yang telah terkumpul ditabulasi. Data kualitatif terlebih dahuiu dikuantitatifkan kemudian diprosentase untuk mengetahui tingkat keaktifan balajar siswa.
Pelaksanaan Tindakan Penclitian
Ponolitian ini dilaksanakan dalam 2 siklus. Tiap-tiap siklus tordiri atas tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan interpretasi sorta refleksi.
Persiapan
Pada tahap ini disusun rencana tindakan yang akan dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran yang meliputi penyusunanlpenyempurnaan dalam hal RPP, podoman pongamatan, dan rancangan evaluasi program.
Pelaksanaan
Prada tahap ini kegiatan pembelajaran dilaksanakan sasuai dengan rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah dirancang pada tahap sebelumnya.
Pengamatan
Tahap ini dilaksanakan bersama dengan tahap implemontasi tindakan. Guru borsama siswa terlibat dalam kegiatan obsewasi dengan Iembar observasi yang sudah ditetapkan. Hasil observasi disusun dalam bontuk jurnal/tabal untuk dianalisis. Fokus dari analisis ini adalah ketercapaian indikator keberhasilan kinerja yang telah ditetapkan.
Rcfleksi
Setelah diketahui hasil analisis dari implemontasi tindakan, maka dilakukan retleksi untuk perbaikan, mulai tahap perencanaan pada siklus berikutnya,

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA
Hasil Peneiitian
Peneiitian ini dilaksanakan dalam dua sikus. Hasil observasi dan interpretasi dari kedua sikius tersebut adalah sebagai berikut.
Tingkat Keaktifan Bclajar Mate matika Individual
Hasil pengoiahan data berkaitan dengan keaktifan belajar matematika secara individul sebagai berikut.
Tabei 1. Hasil Angket Tingkat Keaktifan Beiajar Matematika Individual

Tabel di atas menunjukkan hasil persentase keaktifan belajar siswa meningkat dari siklus 1 ke siklus 2. Keaktifan belajar individual dilihat dari motivasi belajar sangat tinggi, interaksi belajar juga sangat tinggi. Di samping itu, dilihat dari aktivitas kegiatan belajar kelompoknya dan pencapaian hasil balajar, secara individual responden juga mamiliki aktivitas belajar yang sangat tinggi.
Tingkat Keaktifan Belajar Matematika Kelompok
Hasil pengolahan data barkaitan dangan keaktifan belajar matematika secara kelompok sebagai berikut.

Berdasarkan table 2 di atas, secara kelompokl tim, tingkat keaktifan dilihat dari motivasi belajar kelompck sangat tinggi. Dilihat dri aspek interaksi belajar pada kegiatan pembelajaran kelompok juga sangat tinggi. Dilihat dari aspek belajarn kelompok (cooperative learning) responden mempunyai aktivitas belajar kelompok yang tinggi pada siklus 1 (74%) dan aktivitas belajar yang sangat tinggi pada siklus 2 (94%). Pada aspek pencapaian hasil belajar, aktivitas belajar kelompok responden juga msangat tinggi pada kedua siklus.
Secara kumulatif, dari tabel 1 dan tabel 2 di atas dapat diketahui rata—rata tingkat keaktifan belajar siswa adalah 84% pada siklus 1 dan 92% pada siklus ke dua sehingga terjadi peningkatan tingkat keaktifan belajarsebesar 8%.
Ketuntasan Belajar
Hasil analisis table 1 dan 2 di atas, ditemukan tingkat ketuntasan belajar dengan KKlVl 70, secara klasikal siswa mencapai tingkat ketuntasan 86% dalam dua siklus tindakan.
Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, cliketahui persetase keaktifan belajar merupakan jumlah dari hasil kali jumlah responden tiap opsi dengan nilai opsinya, kemudian hasilnya dibagi pembanding maksimumnya (36 X 4). Dengan menggunakan diskripsi tersebut, dapat dilihat kealciifan belajar individual dilihat dari motivasi belajar sangat tinggi, interaksi belajar juga sangattinggi. Di samping itu, dilihat dari aktivitas kegiatan belajar kelompoknya dan pencapaian hasil belajar, secara individual responden juga memiliki aktivitas belajar yang sangat tinggi.
Secara kelompokl tim, tingkat keaktifan dilihat dari motivasi belajar kelompok sangat tinggi. Dilihat dari
aspek interaksi belajar pada kegiatan pembelajaran kelompok juga sangat tinggi. Dilihat dari aspek belajar kelompok (cooperative learning) responden mempunyai aktivitas belajar kelompok yang tinggi pada siklus 1 (74%) dan aktivitas belajar yang sangat tinggi pada siklus 2 (94%). Pada aspek pencapaian hasil belajar, aktivitas belajar kelompok responden juga sangat tinggi pada kedua siklus.
Dengan demikian, secara kumulatif, dapat dijelaskan rata-rata tingkat keaktifan belajar siswa adalah 84% pada siklus 1 dan 92% pada siklus ke dua sehingga terjadi peningkatan tingkat keaktifan belajar sebesar 8%.
Selain itu, tingkat ketuntasan belajar, balk secara klasikal siswa mencapai tingkat ketuntasan 86% dalam dua siklus tindakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa metode TAI yang dipadu dengan metode HHT mampu meningkatkan keaktifan belajar individual sekaligus kelompok. Siswa yang memiliki kemampuan kurangl bermasalah dapat lebih leluasa untuk menentukan gaya belajar yang sesuai dengan kemampuannya. Siswa yang kemampuannya lebih dapat berlatih untuk berbagi khususnya dengan teman sekeI0mpoknya.
Hal di atas telah menjadikan kegiatan pembelajaran matematika lebih bermakna, sesuai dengan pendapat Silberman (2007) bahwa belajar yang sesungguhnya tidak akan terjadi tanpa ada kesempatan untuk berdiskusi, membuat pertanyaan, mempraktikkan bahkan mengajarkan kepada orang lain.

PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian di atas, dapat disimpulkan bahwa metode TAI yang dipadu dengan metode Number Heads Together mampu meningkatkan keaktifan belajar matematika siswa menjadi sangat tinggi, yakni 88 %, balk keaktifan belajar matematika secara individual maupun pembelajaran kelompok siswa. Siswa dengan kemampuan yang kurang, tetap memiliki keaktifan belajar yang sangat tinggi dengan bantuan teman kelompoknya. Siswa dengan kemampuan tinggi dapat belajar aktif dengan berlatih memanfaatkan kemampuannya untuk membantu belajar teman sekelcmpoknya serta memperkuat sikaptanggungjawabnya.

DAFTAR PUSTAKA
Aqib, Zainal, dkk. 2008. Panalitian Tindakan Kelas. Bandung: CV. Yrama Widya.

DaP0rter, Bobbi, dkk. dialihbahasakan olah Ary Nilandari. 2004. Quantum Teaching. Mampraktekkan Quantum Laaming di KaIas—Ke·Ias. Bandung: Kaifa.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2005. Guru dan Anak Didik dalam Intaraksi Edukatif. Suatu Pandakatan Tecretis Psikologis. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.

Hamalik, Oemar. 2003. Pendekatan Baru Strategi Belajar Mengajar berdasarkan CBSA. Bandung: SinarBaruAlgensindo.

Hamalik, Oemar. 2008. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: BumiAksara.

Lie, Anita. 2008. Cooperative Learning. Mempraktikkan Cooperative Leaming di Ruang—Ruang Kelas.
Jakarta: Grasindo.

Silberman, Mel. dialihbahasakan oieh Sarjuli. 2007. Active Learning. 101 Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: Pustaka Insan

Madani. V Nasution, S. 2006. Berbagai I Pendekatan da/am Proses Belajar ` 8. Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Rachman, Maman. 2008. Penelitian `Nndakan Kelas (Dalam Bagan). Semarang: UPT Percetakan dan Penerbit Unnes Press.

Slavin, Robert E. dialihbahasakan oleh Lita. 2009. Cooperative Learning. Teori, Riset clan Praktek. Bandung: Nusa Media.

Subyantoro. 2009. Penelitian Tindakan Kelas. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

Toali. 2008. Matematika Sekolah Menengah Kejuruan untuk Kelas XII. Jakarta: Pusat Pembukuan Depdiknas.

Zaini, Hisyam, dkk. 2008. Strategi Pembe/ajaran Aktii Yogyakarta Pustaka lnsan Madani.

--— ----——— . 2005. Stratagi Pemelajaran Matematika. Bahan Ajar Diklat Guru Matematika SMK. Jakarta: Direkt0rat Pendidikan MenengahKejuruan Depdiknas.

Pengembangan Model Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Aptitude Treatment Interaction Berbasis Portofolio di SMP Kota Surakarta

PENGEMBANGAN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN APTITUDE TREATMENT INTERACTION BERBASIS PORTOFOLIO DI SMP KOTA SURAKARTA

Sutama
Jurusan Pendidikan Matematika
FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jl. A. Yani Pabelan Tromol Pos I Surakarta 57102
Telp. 0271-717417 psw 130

Abstract:

This research and development aimed to set a model of mathematic learning in Junior High School using aptitude treatment interaction (ATI) approach in portfolio base. Specifically the aim in details are (1) to describe mathematic learning done by Junior high School teachers of the research locations and the approach they used, and (2) to set the concept of mathematic learning development for Junior High School using ATI approach in portfolio base. Data collections are observation, interview, and FGD. The research subjects are teachers, students, education experts, and policy taker. The research locations are at four state and four private Junior High Schools in Surakarta. The technique of data analysis are interactive, the form is the cycle of data collection, data reduction, data presentation, and conclusion/verification. The data legality uses triangulation method and resource. The result of this research and development, (1) the mathematic learning in the schools that are used as the research location, consisting the activities of planning, implementation, evaluation, and controlling using deductive and inductive approaches. Planning, arrange all of the teaching administration and the preparation on the mastery of teaching material, teaching method and evaluation tool. Implementation: opening the teaching, learning activity, and closing the teaching. (2) The activities in the development of mathematic teaching material using ATI approach in portfolio base are introduction step, core activity step, and closing activity step by documenting all of the students’ activities. Those three steps are implemented in variants that are suitable for classical, group, and individual models in a form of a cycle. A small group of learning team which consists of five students with different ability (1 high, 2
moderate, and 1 low) with a tutor of the same age by turns. Introduction activity consists of a) review, b) pre-motivation, and c) apperception. Core activity consists of concept development and implementation. And the closing activity is the review on materials summary and the follow up actions.

Keywords: ATI, portfolio, teaching material, learning

Pendahuluan

Berbagai upaya untuk peningkatan mutu pendidikan telah dilakukan. Namun, ketimpangan mutu pendidikan masih saja terjadi. Hasil penelitian Astuti (2007: 7) menunjukkan masih adanya ketimpangan mutu pendidikan walaupun sekolah yang bersangkutan telah menjadi ujicoba desentralisasi pendidikan.
Upaya peningkatkan mutu pendidikan perlu dibuat kebijakan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat. Kebijakan itu antara lain perlunya melengkapi bahan ajar yang berbasis multi media dan memberikan bekal penguasaan TIK kepada guru (Sujoko, dkk., 2007: 5). Kebijakan perlunya pemanfaatan multimemdia juga dinyatakan oleh Arifin dan Uwea (2007: 4). Kebijakan lainnya adalah perlunya pelatihan sampai kepada substansi bidang studi. Hal ini mengingat pelatihan yang telah dilakukan, berdasarkan penelitian Juanda (2007: 4), telah memberikan sumbangan terhadap peningkatan kompetensi pedagogis, terutama membuat perangkat kurikulum, tetapi belum sampai pada substandi bidang studi.
Matematika sekolah diberikan kepada siswa pendidikan dasar (SMP) untuk membekali siswa berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif serta mampu bekerja sama (Roebyanto, dkk., 2006: 19). Kompetensi tersebut diperlukan agar siswa memiliki kemampuan memperoleh, mengelola, dan memanfaatkan informasi untuk bertahan hidup pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif. Sementara itu, penguasaan matematika siswa di Indonesia masih rendah. Hal ini dapat diketahui dari prestasi siswa Indonesia yang menduduki peringkat ke 32 dari 38 negara peserta pada tahun 1999 dan peringkat 37 dari 46 negara peserta pada tahun 2003. salah satu penyebabnya adalah belum efektifnya proses pembelajaran (Siswono, 2007: 6).
Untuk menguasai matematika sekolah secara baik diperlukan model pembelajaran yang memperhatikan keragaman individu siswa (Iskandar, 2006: 27). Sesuai dengan prinsip pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP 2006), yakni siswa harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang bermutu, serta memperoleh kesempatan untuk mengekspresikan dirinya secara bebas, dinamis, dan menyenangkan (Hidayat dan Prabantoro, 2007: 5).
Realitasnya di lapangan, ada kesan umum bahwa kemampuan guru matematika dalam implementasi KTSP masih kurang. Sebagian besar masih berpredikat sebagai pelaksana KTSP dan bahkan kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan lebih bersifat rutinitas (Hasibuan dan Harry B. Santosa, 2007: 5). Guru belum siap menghadapi berbagai perubahan, akses pada materi mutakhir terbatas; wawasan dan keterampilan pembelajaran juga terbatas (Hastjarjo dan Soekartawi, 2007: 4). Guru dalam pembelajaran di kelas hanya menekankan pada pengembangan pengetahuan yang bersifat fakta dan ingatan, dan melupakan aspek proses dan konteks (Anwar, 2006: 234).
Kompetensi guru-guru di Indonesia saat ini masih mempihatinkan (Herman, 2007: 5). Motivasi dan kesiapan belajar siswa juga rendah (Martini, dkk., 2006: 248). Keterbatasan media pembelajaran baik jenis maupun jumlahnya, serta kemampuan memanfaatkan media masih kurang. Kemampuan guru dalam mengembangkan pembelajaran dengan metode yang variatif juga kurang. Kebijakan dan strategi diseminasi kurang mendukung. Monitoring, evaluasi dan kendali mutu masih lemah (Soekartawi, 2007: 7). Ini semua diperlukan upaya mengatasinya jika kualitas pembelajaran menjadi tuntutan utama. Model pembelajaran apapun yang dikembangkan dan strategi apapun yang dipilih untuk keperluan pembelajaran haruslah berpijak pada permasalahan yang ada. Jika tidak, model apapun atau strategi pembelajaran manapun tidak akan bermakna.
Memperhatikan fenomena di atas, betapa kemampuan guru matematika masih sangat memprihatinkan, pertanyaan yang perlu segera dikemukakan adalah bagaimana cara meningkatkan kemampuan guru dalam pengembangan model pembelajaran? Pendekatan pembelajaran mana yang dipilih oleh guru? Apakah model
pembelajaran dengan pendekatan aptitude treatment interaction (ATI) berbasis portofolio dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, peningkatan mutu pembelajaran, dan melakukan optimalisasi implementasi KTSP mata pelajaran matematika SMP?
Banyak model pengembangan pembelajaran berbasis kompetensi yang telah dikembangkan oleh para ahli, baik melalui penelitian maupun kajian konseptual (Hernawan, 2007: 6). Namun demikian, tatkala model-model diterapkan guru-guru di sekolah seringkali hasilnya kurang efektif dan kurang adaptabel yang disebabkan oleh belum adanya model yang bisa dijadikan contoh oleh guru. Oleh karena itu, melalui penelitian dan pengembangan ini diharapkan diperoleh pengembangan model pembelajaran dengan pendekatan ATI berbasis portofolio untuk peningkatan kompetensi guru dan untuk mengoptimalkan implementasi KTSP mata pelajaran matematika di SMP.
Apabila para guru telah mengetahui model pengembangan pembelajaran sebagai contoh, guru dipastikan akan mampu mengembangkan pembelajaran dengan pendekatan ATI berbasis portofolio. Pada gilirannya mutu pembelajaran dapat meningkat lebih baik dan peningkatan mutu pembelajaran ini diyakini akan meningkatkan prestasi belajar siswa. Keyakinan ini didukung oleh pengalaman peneliti-peneliti terdahulu. Misalnya, penelitian yang dilakukan Asikin (2003:123) yang menemukan bahwa pengembangan modul bahan bacaan dengan desain khusus, diberikan dua minggu sebelum pelaksanaan, dan tetap didampingin guru untuk memahami isinya dapat meningkatkan kemandirian siswa secara maksimal. Penelitian yang dilakukan oleh Daryanti (2003: 26) juga menunjukkan, bahwa model pembelajaran dengan peta konsep: (1) dapat meningkatkan prestasi belajar siswa, dan (2) dapat mengoptimalkan aktivitas guru dan siswa.
Bertolak dari pemikiran di atas, peneliti menawarkan pengembangan model pembelajaran ATI berbasis portofolio, karena model ini diyakini dapat memberi peluang siswa untuk terlibat dalam diskusi, berpikir kritis, berani dan mau mengambil tanggung jawab untuk pembelajaran mereka sendiri (Fajar, 2002: 46). Di samping itu, model ini diyakini dapat mendukung implementasi KTSP. Dengan demikian, guru juga akan meningkat kompetensinya sesuai dengan tuntutan KTSP. Hakekatnya, model pembelajaran dengan pendekatan ATI berbasis portofolio ini, di samping siswa memperoleh pengalaman fisik terhadap objek dalam pembelajaran, ia juga memperoleh pengalaman atau terlibat langsung secara mental dalam pembelajaran. Meskipun model pembelajaran dengan pendekatan ATI berbasis portofolio mengutamakan peran aktif siswa, bukan berarti guru tidak berpartisipasi. Dalam proses pembelajaran guru berperan sebagai perancang, fasilitator dan pembimbing proses pembelajaran.
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dikemukakan fokus penelitian, yaitu “Bagaimana model pembelajaran mata pelajaran matematika di SMP dengan pendekataan ATI berbasis portofolio? “ Secara lebih spesifik, fokus ini dirinci menjadi dua pertanyaan penelitian.
1. Bagaimana pembelajaran matematika yang dilaksanakan oleh guru SMP di Surakarta dan pendekatan apa yang dipakai ?
2. Bagaimana konsep pengembangan pembelajaran matematika SMP dengan pendekatan ATI berbasis portofolio ?
Secara umum, penelitian bertujuan menghasilkan model pembelajaran bagi peningkatan pemahaman konsep dan prestasi akademik siswa SMP pada mata pelajaran matematika untuk mendukung implementasi KTSP. Secara khusus, tujuan yang hendak dicapai, yaitu menyusun model pembelajaran mata pelajaran matematika
di SMP dengan pendekataan ATI berbasis portofolio. Secara lebih spesifik, tujuan ini dirinci menjadi dua.
1. Mendeskripsikan pembelajaran matematika yang dilaksanakan oleh guru SMP di Surakarta dan pendekatan yang digunakan oleh guru;
2. Menyusun konsep pengembangan pembelajaran matematika SMP dengan pendekatan ATI berbasis portofolio.
Tataran teoritis, hasil penelitian bermanfaat mengembangkan prinsip-prinsip pengembangan materi ajar dan model pembelajarannya, serta prinsip penerapan model pembelajaran dengan pendekatan ATI berbasis portofolio. Hal ini semakin urgen bagi keperluan kajian teoritis manakala dikaitkan dengan masih minimnya bahan referensi yang membahas tentang model pengembangan materi ajar, model pembelajaran untuk peningkatan pemahaman konsep matematika.
Secara praktis, studi ini dapat dimanfaatkan lembaga pendidikan LPTK/sekolah maupun dosen/guru. Lembaga pendidikan LPTK/Sekolah dapat memanfaatkan hasil studi ini untuk pengembangan kompetensi para calon guru/para guru di bidang pembelajaran. Kompetensi dalam bidang pembelajaran merupakan kebutuhan yang mendesak, karena pembelajaran bermutu merupakan jantungnya pendidikan secara umum. Para dosen/guru dapat memanfaatkan model produk studi ini untuk penyelenggaraan layanan pembelajaran bagi peningkatan pemahaman konsep matematika, dan desain modelnya dapat diaplikasikan untuk pengembangan desain model pembelajaran mata pelajaran lain lebih lanjut.

Metode
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan. Borg dan Gall (1983; 772) mengatakan “educational research and development (R & D) is a process used to develop and validate educational production”. Rangkaian penelitian dan pengembangan ini dilakukan dengan eksplorasi atau penelitian untuk menganalisis kebutuhan sebagai dasar untuk menyusun konsep model yang dikembangkan, dilanjutkan dengan ujicoba dan evaluasi, serta implementasi.
Penelitian pengembangan adalah penelitian yang dilakukan untuk menghasilkana produk tertentu dan menguji keefektifan produk tersebut. Untuk dapat menghasilkan produk , dilakukan penelitian dengan menganalisis kebutuhan dan untuk menguji efektivitasnya dilakukan penelitian dengan menguji keefektifan produk tersebut
(Sugiyono, 2006: 333).
Tempat penelitian dan pengembangan adalah SMP Negeri 6 Surakarta, SMP Negeri 11 Surakarta, SMP Negeri 13 Surakarta, SMP Negeri 17 Surakarta, SMP Muammadiyah 1 Surakarta, SMP Muhammadiyah 4 Surakarta, SMP Al Irsyad Surakarta, dan SMP Al Islam 1 Surakarta.
Subjek penelitian, guru matematika, kepala sekolah, penentu kebijakan, dan siswa kelas VII SMP tempat penelitian. Penentuan subjek penelitian dilakukan purposif dengan memperhatikan tujuan penelitian.
Teknik pengumpulan data, observasi, dan wawancara serta Focus group discussion (FGD). Observasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi partisipatif dan nonpartisipatif (Sugiyono, 2006). Data yang dikumpulkan melalui observasi partisipatif, data-data mengenai pembelajaran yang dilakukan guru matematika yang menjadi subjek penelitian. Adapun data yang dikumpulkan dengan observasi nonpartisipatif
adalah tanggapan dan perilaku siswa ketika mengikuti pembelajaran matematika.
Wawancara dilakukan untuk menggali data pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru matematika di SMP tempat penelitian, hambatan dan kelemahan penerapan pendekatan yang digunakan oleh guru, tanggapan siswa terhadap pendekatan yang digunakan oleh guru, kebutuhan guru akan pendekatan yang sesuai (need assessment dari guru). Wawancara yang dilakksanakan adalah wawancara mendalam (indepth interviewing), atau wawancara bebas.
FGD dilakukan dalam rangka need assesment dan mendapat masukan untuk menyusun model yang akan dikembangkan, untuk mengevaluasi konsep model. Peserta FGD, tim peneliti, guru matematika, ahli pendidikan (yang bukan guru), pengambil kebijakan di bidang pendidikan.
Teknik analisis data menggunakan analisis kualitatif. Ada tiga model analisis kualitatif menurut Moleong (2007: 287), yaitu: (1) metode perbandingan tetap, (2) metode analisis menurut Spradley, dan (3) metode analisis data menurut Milles dan Huberman. Penelitian ini menggunakan metode analisis data menurut Miles dan Huberman (1992), yang terdiri atas tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu: reduksi data, penyajian data, dan penarikann kesimpulan/verfikasi.
Redukasi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Penyajian data adalah menyusun sekumpulan informasi yang memungkinkan dilakukan penarikan simpulan dan pengambilan tindakan. Penarikan simpulan/ verifikasi, menarik simpulan dan melakukan verifikasi yang mengarah kepada jawaban dari permasalahan penelitian (Miles dan Huberman, 1992: 15-17). Teknik analisis data model interaktif dapat diilustrasikan pada gambar 1.


Hasil Penelitian dan Pembahasan
Rancangan pembelajaran matematika yang dilakukan guru SMP tempat penelitian mecakup lima hal seperti disampaikan berikut.
1) Progam tahunan; yang berisi uraian standar kompetensi yang meliputi beberapa kompetensi dasar yang harus dicapai dalam satu tahun, alokasi waktu dan keterangan; 2) Program semester; yang berisi standar kompetensi/ kompetensi dasar, alokasi waktu, waktu pelaksanaan pembelajaran dalam bulan dan minggu, serta jadwal ujian dan penerimaan raport;
3) Status pengembangan dan penilaian; yang berisi uraian setiap pencapaian standar kompetensin dasar, materi pokok dan uraian singkat materi, pengalaman belajar, indikator pencapaian, penilaian yang meliputi jenis kegiatan, bentuk instrumen, contoh instrumen, serta alokasi waktu dan sumber bahan;
4) Rincian minggu efektif; yang berisi minggu efektif dan minggu tidak efektif untuk tiap semesternya;
5) Rencana pembelajaran; dibuat sesuai jumlah pokok bahasan/ sub pokok bahasan dalam satu semester, yang meliputi : mata pelajaran, materi pokok, kelas/semester, pertemuan ke, metode, alokasi waktu, standar kompetensi, kompetensi dasar, materi pelajaran, strategi pembelajaran (kegiatan, waktu, aspek life skill, yang dikembangkan), media pembelajaran, penilaian (jenis tagihan dan tindak lanjut), pada tindak lanjut berisikan program remidi dan pengayaan.
Perencanan sebagaimana tersebut di atas tidak sekedar dilakukan karena tuntunan tugas sebagai kelengkapan administrasi mengajar saja, namun lebih dari itu perencanan dilakukan untuk suatu tujuan mulia, yaitu optimalisasi pencapaian tujuan pembelajaran seperti meningkatkan daya serap siswa. Hal ini didukung Fisdaus, Tabrani, dan Adiwirman (2007: 3) yang menyatakan, bahwa ketrampilan guru dalam perencanaan pembelajaran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap proses pembelajaran bermakna dan selalu relevan dengan tujuan serta kebutuhan siswa.
Perencanan pembelajaran juga bermanfaat bagi guru sebagai kontrol terhadap diri sendiri agar dapat memperbaiki pengajarannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Suwarni, Widiastuti, dan Isrowiyah (2007: 6), bahwa selain sebagai alat kontrol, maka persiapan mengajar juga berguna bagi guru sendiri.
Pelaksanan pembelajaran matematika di SMP tempat penelitian, yaitu membuka pelajaran, pengembangan, dan menutup pelajaran. Dalam membuka pelajaran, menjelaskan materi pokok bahasan/sub pokok bahasan yang akan di pelajari, melakukan apersepsi guna mendorong motivasi belajar siswa, serta menjelaskan tujuan pembelajaran. Untuk mempermudah siswa dalam mengikuti pelajaran, guru menghubungkan dengan
bahan pengait. Usaha guru, misalnya membuat kaitan antara aspek-aspek yang relevan dari materi pelajaran yang telah dipelajari atau menjelaskan pengertiannya terlebih dahulu.
Metode pembelajaran yang gunakan adalah metode ceramah dan tanya jawab, kadangkadang menggunaka metode diskusi dan drill. Dalam menyampaikan materi pelajaran guru selalu memperhatikan kemampuan siswa. Apabila siswa sudah mengenal materi ajar, guru menggunakan pendekatan induktif. Sebaliknya, apabila siswa belum mengenal materi yang dipelajari guru menggunakan pendekatan deduktif. Penggunaan metode yang sangat bervariasi menunjukan bahwa dalam penyampaian materi pelajaran sudah baik. Seiring dengan pendapat Elida dan Nugroho (2003: 15), bahwa dalam praktek mengajar yang baik adalah metode mengajar yang bervariasi/kombinasi dari beberapa metode mengajar.
Penggunaan alat peraga dan pengolahan kelas yang dilakukan ole guru matematika SMP tempat penelitian perlu peningkatan. Hal ini terlihat, guru mempunyai kendala dalam mengendalikan proses belajar mengajar di kelas karena belum didukung oleh kelengkapan alat peraga dan media. Sehubungan dengan ini Hasan (2000: 7) mengatakan, penggunaan alat peraga dalam pengajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru.
Tugas rumah selalu diberikan oleh guru matematika SMP tempat penelitian, dan kadangkadang memberikan post test. Penarikan kesimpulan dari semua materi yang dipelajari didominasi oleh guru.
Idealnya penilaian pembelajaran dilakukan penilaian proses dan penilaian hasil belajar. Tetapi penilaian proses di SMP tempat penelitian jarang dilakukan. Penilaian hasil belajar dilaksanakan dalam bentuk ulangan harian, tugas, ujian mid semester, dan ujian akhir semester dengan didasarkan pada pertimbangan tujuan pembelajaran, alokasi waktu, dan kompetensi yang diharapkan dicapai oleh siswa.
Melalui evaluasi, tujuan pembelajaran yang pada intinya adalah terjadinya perubahan tingkah laku dalam diri siswa melalui penyerapan materi pelajaran akan dapat diketahui. Perubahan tingkah laku, mencakup pengetahuannya bertambah, sikapnya terbentuk, dan keterampilannya meningkat. Ketiga cakupan ini dalam proses pengajaran terdiri dari dimensi kongitif, afektif, dan psikomotorik yang tersusun dalam tujuan pembelajaran yang disusun dan dirancang oleh guru yang profesional.
Pembelajaran perlu adanya pengawasan/ supervisi dari kepala sekolah, yaitu mengontrol atau mengawasi jalannya proses belajar mengajar. Supervisi dari kepala sekolah yang dilaksanakan di SMP tempat penelitian paling tidak ada dalam satu tahun.
Melihat banyaknya hambatan yang ada dalam pembelajaran, kepala sekolah melakukan pengawasan berdasarkan hambatan-hambatan tersebut. Hambatan itu bisa berasal dari pihak guru, pihak murid, maupun dari sarana dan prasarana serta lingkungan.
Supervisi yang dilakukan kepala sekolah tidak bertujuan untuk memberi kondite guru, memberi hadiah maupun hukuman, melainkan untuk memberi bimbingan dalam mencapai tujuan sekolah.
Pengontrolan dari kepala sekolah sangat penting untuk dilakukan, karena dapat dijadikan umpan balik dari kesalahan-kesalahan pembelajaran yang ada. Hal ini sejalan dengan pendapat Daryanti (2003: 28) bahwa supervisi berarti mengawasi untuk mengumpulkan berbagai data, dipergunakan sebagi bahan untuk menemukanmasalah-masalah, dan kesulitan-kesulitan yang dapat dipakai sebagai dasar untuk mencari jalan ke arah perbaikan dan peningkatan.
Model pembelajaran ATI berbasis portofolio bertujuan untuk menciptakan dan mengembangkan suatu model yanag betul-betul peduli dan memperhatikan keterkaitan antara kemampuan (attitude) siswa dengan strategi pembelajarann (treatment). Untuk mencapai tujuan, pembelajaran ATI berbasis portofolio berupaya menemukan dan memilih sejumlah metode yang akan dijadikan sebagai perlakuan yang sesuai dengan perbedaan kemampuan siswa. Kemudian melalui suatu interaksi yang positif multiplikatif dikembangkan perlakuan-perlakuan tersebut dalam pembelajaran, sehingga akhirnya dapat diciptakan optimalisasi perubahan perilaku dan prestasi akademik siswa.
Agar tingkat keberhasilan (efektivitas) model pembelajaran ATI berbabasi portofolio dapat dicapai dengan baik, maka dalam implementasinya perlu diperhatikan dan dihayati tiga prinsip yang dikemukakan oleh Fajar (2002: 145). Ketiga prinsip tersebut diuraikan singkat di bawah.
Pertama, bahwa interaksi antara kemampuan dan perlakuan pembelajaran berlangsung dalam pola yang kompleks, dan senantiasa dipengaruhi oleh variabel tugas, jabatan dan situasi. Berarti, dalam mengimplementasikan model pembelajaran ATI berbasis portofolio perlu memperhatikan dan meminimalkan bias yang diperkirakan berasal dari variabel-variabel tersebut.
Kedua, bahwa lingkungan pembelajaran yang terstruktur cocok bagi siswa yang memiliki kemampuan rendah dan lingkungan pembelajaran yang fleksibel lebih cocok untuk siswa yang pandai.
Ketiga, bahwa siswa yang rasa percaya dirinya kurang cenderung belajarnya akan lebih baik dalam lingkungan tersetruktur dan sebaliknya siswa yang independent belajarnya akan lebih baik dalam situasi fleksibel.
Pembelajaran matematika dengan pendekatan ATI berbasis portofolio, dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan, tahap kegiatan inti, dan tahap kegiatan penutup dengan semua tugus siswa didokumentasikan. Ketiga tahapan diwujudkan dalam bentuk beragam sesuai dengan model yang dipakai, klasikal, kelompok, atau individual.
Kegiatan pendahuluan meliputi 1) review, yaitu membahas tugas, yang esensial dan sulit diberi balikan, 2) motivasi awal, yaitu memberitahukan tujuan pembelajaran, memberikan gambaran umum materi ajar dan memberikan gambaran kegiatan yang akan dilakukan, dan 3) apersepsi, yaitu memberikan materi pengait sesuai materi yang dibahas.
Kegiatan inti meliputi pengembangan konsep dan penerapan. Dalam pengembangan konsep, penyampaian materi ajar, menggunakan alat atau media pembelajaran, mengadakan variasi pembelajaran dengan cara a) menampilkan sikap bersahabat, b) menghindari perbuatan yang dapat mengganggu perasaan siswa, c) menunjukkan sikap adil kepada semua siswa, d) menggunakan berbagai teknik untuk memelihara tingkah laku siswa, e) menghargai setiap perbedaan pendapat, f) menekankan bagian-bagian penting, g) membantu siswa yang mendapat kesulitan, h) mendorong siswa aktif, menumbuhkan kepercayaan siswa, dan menciptakan suasan kondusif.
Dalam penerapan diberikan latihan terkontrol dan latihan mandiri. Latihan terkontrol setting kelas kelompok (tiap kelompok 5 siswa dengan kemampuan awal bevariasi) meliputi kegiatan a) tugas diarahkan dengan jelas, b) membimbing dan memudahkan belajar siswa, c) menuntut tanggung jawab siswa, d) menumbuhkan kerjasama antarsiswa, dan e) menumbuhkan inisiatif siswa dalam belajar. Latihan mandiri meliputi kegiatan: a) komunikasi antar pribadi menunjukkan kehangatan, b) merespon setiap pendapat siswa, c) membimbing belajar siswa, d) mendorong siswa untuk banyak berkreasi dalam belajar, dan e) menumbuhkan kepercayaan siswa kepada diri sendiri.
Kegiatan penutup meliputi review terhadap rangkuman dan tindak lanjut. Kegiatan review terhadap rangkuman, yaitu a) mengarahkan siswa untuk membuat rangkuman, dan b) rangkuman jelas dan mencakup seluruh inti materi ajar. Kegiatan tindak lanjut, yaitu a) mengevaluasi kemampuan siswa, b) menyarankan agar materi ajar dipelajari kembali di rumah, dan c) memberikan tugas rumah dengan langkah-langkah pengerjaan.

Simpulan dan Saran
Pembelajaran matematika di SMP tempat penelitian, meliputi kegiatan perencanaan, pelaksanaan, penilaian, dan pengawasan. Perencanaan, menyusun program tahunan, program semester, pengembangan silabus dan penilaian, rincian minggu efektif, dan rencana pembelajaran serta persiapan penguasaan materi ajar, metode mengajar, dan alat evaluasi.
Pelaksanaan, membuka pelajaran, kegiatan pembelajaran, dan menutup pelajaran. Kegiatan membuka pelajaran dilakukan dengan menjelaskan pokok bahasan, melakukan apersepsi guna mendorong motivasi, menjelaskan tujuan pembelajaran, serta kadang-kadang diadakan pre test. Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan metode ceramah, tanya jawab, diskusi, drill, melalui pendekatan deduktif dan induktif. Alat peraga dan media walaupun terbatas juga digunakan sesuai dengan materi. Kegiatan menutup pelajaran guru menyimpulkan materi yang dipelajari dan guru selalu memberi PR dan kadang-kadang melakukan post test.
Penilaian pembelajaran, meliputi penilaian proses dan penilaian hasil belajar. Dalam penilaian proses pembelajaran, guru menggunakan tes lisan dan observasi, walaupun penilaian proses ini jarang dilakukan. Penilaian hasil belajar berupa ulangan harian, tugas dari guru, ujian mid semester serta ujian akhir semester.
Pengawasan yang dilakukan oleh kepala sekolah di SMP tempat penelitian, telah sesuai dengan kebutuhan, walaupun pelaksanaannya jarang dilakukan. Tetapi setidaknya dalam satu tahun ada supervisi dari kepala sekolah. Apabilan hasil belajar siswa menurun, kepala sekolah lebih giat dalam supervisi.
Pengembangan materi ajar matematika dengan pendekatan ATI berbasis portofolio yang menyangkut isi adalah ilmiah, relevan, memadai, aktual dan kontekstual, fleksibel dan menyeluruh. Ilmiah, mencakup keseluruhan materi dan kegiatan yang menjadi muatan dalam materi ajar matematika. Keseluruhan materi dan kegiatan tersebut harus benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan. Relevan, cakupan, kedalaman, tingkat kesukaran dan urutan peyajian dalam materi ajar matematika disesuaikan dengan tingkat perkembangan intelektual, sosial, emosional dan spiritual siswa.
Materi ajar diharapkan memadai, artinya bahwa materi ajar cukup menunjang pencapaian kompetensi dasar. Materi ajar harus memuat prinsip aktual dan kontekstual. Prinsip ini mencakup indikator, materi pokok, pengalaman belajar, sumber belajar dan sistem penilaian yang memperhatikan perkembangan ilmu, teknologi, seni mutakhir dalam kehidupan nyata. Pengembangan bahan ajar juga harus fleksibel disesuaikan dengan perkembangan fenomena yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Pengembangan materi ajar harus dapat menunjang pencapaian skill dan sikap. Hal ini dibuktikan oleh pembelajaran matematika dituntut untuk selalu berpikir logis, kritis dan terstruktur. Materi ajar yang diharapkan haruslah menyeluruh, artinya bahwa komponen materi ajar mencangkup keseluruhan ranah kognitif, ranah afektif dan psikomotorik.
Pengembangan materi ajar yang menyangkut tata urutan adalah sistematis dan konsisten. Pengembangan materi ajar menggunakan topik bab awal sebagai dasar topik pembelajaran selanjutnya. Hal ini dilakukan jika topik antarbab awal dengan bab selanjutnya saling berkesinambungan. Keajegan antara standar kompetensi dan kompetensi dasar sangat diperlukan dalam pengembangan materi bahan ajar.
Kegiatan pembelajaran pada model ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap pendahuluan, tahap kegiatan inti, dan tahap kegiatan penutup dengan semua tugus siswa didokumentasikan. Ketiga tahapan tersebut akan diwujudkan dalam bentuk beragam sesuai dengan model klasikal, kelompok, dan individu secara siklus. Tim belajar kelompok kecil dengan anggota lima siswa dengan kemampuan awal berbeda (1 tinggi, 2 sedang, dan 1 rendah) dengan tutor sebaya bergantian.
Kegiatan pendahuluan meliputi 1) review, yaitu membahas tugas, yang esensial dan sulit diberi balikan, 2) motivasi awal, yaitu memberitahukan tujuan pembelajaran, memberikan gambaran umum materi ajar dan memberikan gambaran kegiatan yang akan dilakukan, dan 3) apersepsi, yaitu memberikan materi pengait sesuai materi yang dibahas.
Kegiatan inti meliputi pengembangan konsep dan penerapan. Pengembangan konsep meliputi penyampaian materi ajar, menggunakan alat atau media pembelajaran, mengadakan variasi pembelajaran dengan cara a) menampilkan sikap bersahabat, b) menghindari perbuatan yang dapat mengganggu perasaan siswa, c) menunjukkan sikap adil kepada semua siswa, d) menggunakan berbagai teknik untuk memelihara tingkah laku siswa, e) menghargai setiap perbedaan pendapat, f) menekankan bagian-bagian penting, g) membantu siswa yang mendapat kesulitan, h) mendorong siswa aktif, menumbuhkan kepercayaan siswa, dan menciptakan suasan kondusif.
Penerapan, diberikan latihan terkontrol dan latihan mandiri. Latihan terkontrol setting kelas kelompok dengan tutor sebaya, meliputi kegiatan a) tugas diarahkan dengan jelas, b) membimbing dan memudahkan belajar siswa, c) menuntut tanggung jawab siswa, d) menumbuhkan kerjasama antarsiswa, dan e) menumbuhkan inisiatif siswa dalam belajar. Latihan mandiri meliputi kegiatan: a) komunikasi antar pribadi menunjukkan kehangatan, b) merespon setiap pendapat siswa, c) membimbing belajar siswa, d) mendorong siswa untuk banyak berkreasi dalam belajar, dan e) menumbuhkan kepercayaan siswa kepada diri sendiri.
Kegiatan penutup meliputi review terhadap rangkuman dan tindak lanjut. Kegiatan review terhadap rangkuman, yaitu a) mengarahkan siswa untuk membuat rangkuman, dan b) rangkuman jelas dan mencakup seluruh inti materi ajar. Kegiatan tindak lanjut, yaitu a) mengevaluasi kemampuan siswa, b) menyarankan agar materi ajar dipelajari kembali di rumah, dan c) memberikan tugas rumah dengan langkah-langkah pengerjaan.
Kepala sekolah diharapkan selalu menjadi pembimbing serta penggerak dalam perbaikan faktor-faktor strategik pembelajaran matematika, sehingga peningkatan mutu hasil belajar dapat tercapai. Mendengarkan setiap masukan, kritik dan saran dari berbagai pihak yang menyangkut kebijaksanaan dalam pembelajaran. Mengusahakan tersedianya sarana dan prasarana sekolah yang menunjang pembelajaran seperti penyediaan
media dan alat peraga, buku-buku, laboratorium matematika dan alat-alat pembelajaran.
Guru matematika senantiasa melakukan evaluasi terhadap kemampuan mengajar sekaligus berusaha meningkatkan kemampuannya melalui wokshop dan pendidikan lanjutan yang sesuai dengan tugas dan tanggungjawabnya. Guru juga harus senantiasa berusaha meningkatkan mutu hasil belajar dengan memperbaiki manajemen pembelajaran. Guru matematika diharapkan memperhatikan keterkaitan komponen-komponen dalam proses pembelajaran. Komponenkomponen tersebut meliputi materi pembelajaran, keadaan awal siswa, strategi pembelajaran, pengawasan pembelajaran, dan lingkungan kelas.
Dibutuhkan penelitian yang berkaitan dengan pengembangan pengalaman belajar dan kecakapan hidup matematika sekolah dalam peningkatan mutu hasil belajar. Hal ini perlu dilakukan agar proses pembelajaran matematika di masa mendatang menjadi lebih baik dan bermutu, sehingga dihasilkan lulusan yang handal dan
mampu bersaing dalam pasar kerja.

DAFTAR PUSTAKA
Anwar. 2006. “Penggunaan Peta Konsep Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe STAD untuk meningkatkan Proses, Hasil Belajar, dan Respons pada Konsep Ekosistem”. Dalam Jurnal Penelitian Kependidikan. Tahun 16 Nomor 1 Desember. Hal. 217-244.

Arifin, Rusjdy S. and Uwea A. Chaeruman. 2007. “E-Dukasi.Net: A Showcae of Virtual Learning Resources Center (VLRC) for Secondary Education”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Asikin, Mohammad. 2003. “Peningkatan Keefektifan Pembelajaran Pembuktian Matemamtika Melalui Model Belajar Perubahan Konseptual dengan CLS (Cooperative Learning Strategies). Dalam Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol. XIX, No. 2. 2003. Hal. 112-126.

Astuti, Siti Irene. 2007. “Desentralisasi Pendidikan dan Ketimpangan Mutu papda Tingkat Satuan Pendidikan”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Borg, W.R. & Gall, M.D(1983). Educational Research: An Instroduction. New York: Longman. Daryanti. Tri. 2003. “Model Pembelajaran Bermakna dengan Peta Konsep untuk Mengoptimalkan Aktiivitas Guru dan Siswa di Sekolah Dasar”. Dalam Jurnal Penelitian Pendidikan. Vol. XIX, No. 1. 2003. Hal. 24-37.

Elida, T. & W. Nugroho (2003). Pengembangan computer assisted instruction (CAI) pada Praktikum Mata Kuliah Jaringan Komputer, Jurnal Teknologi Pendidikan, Vol. 5 no. 1. Hal. 14-27. Fajar, Arnie (2002), Portofolio, Bandung: Remaja Rosdakarya.

Firdaus, L.N., Gunawan Tabrani, dan Adiwirman. 2007. “Implementasi Pendekatan Contextual-Teaching and Learning (CTL) dalam Pembelajaran dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi di Kabupaten Bengkalis Privinsi Riau”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian danPengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Hasan, Said Hamid. (2000). “Pengembangan kurikulum berbasis masyarakat”. Makalah seminar nasional pengembangan program pendidikan berbasis kewilayahan menyongsong diterapkannya otonomi daerah, 31 Agustus 2000 di UPI Bandung.

Hasibuan, Zainal A . dan Harry B. Santosa. 2007. “Analisis dan Perancangan Modul Representasi Knowledge Building dalam Student Centered E-Learning Environment”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia

Hastjarjo, Sri dan Soekartawi. 2007. “Aplikasi E-Learning dan Kualitas Hasil Belajar”. Makalah
Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi
Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia

Herman, Tatang. 2007. “Membangun Pengetahuan Siswa Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Hermawan, Sainul. 2007. “Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Hidayat, Agus dan Gatot Prabantoro. 2007. “Memanfaatkan Fasilitas Gratis di Internet untuk Mengembangkan Media E-Learning Murah”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Iskandar, Srini M. 2006. “ Peningkatan Kualitas Pembelajaran Dasar-Dasar Sains dengan Mengggunakan Pembelajaran Berkelompok (Learning Together) dan Pembelajaran Timbal Balik (Reciprokal Teaching)”. Dalam Jurnal Penelitian Kependidikan. Tahun 16 Nomor 1 Juni.
Juanda, Enjang A. 2007. “Pertimbangan-pertimbangan (Constraints) Perancangan Kelas Virtual pada Aplikasi E-Learning untuk Bidang Ilmu Keteknikan”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Martini, dkk. 2006. “Meningkatkan Kemampuan Aspek Psikomotr Melalui Pembelajaran Berbasis Laboratorium pada siswa Kelas XI IPA I SMA Negeri I Jombang.” Dalam Jurnal Penelitian Kependidikan. Tahun 16 Nomor 2 Desember. Hal. 245-255.
Miles, Matthew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohendi. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Roebyanto, Gunawan dkk. 2006. “Pembelajaran Geometri yang Berorientasi pada Teori van Hiele dalam Upaya Meningkatkan Pemahaman Konsep Segiempat”. Dalam Jurnal Penelitian Kependidikan. Tahun 16 Nomor 1 Juni.

Siswono, Tatak Yuli Eko. 2007. “Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Siswa Melalui Pengajuan Masalah dan Pemecahan Masalah Matematika”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Soekartawi. 2007. “E-Learning: Teori, Aplikasi, dan Potensinya dalam Meningkatkan Akses dan Pemerataan Pendidikan Bermutu di Indonesia”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeda.

Sujoko, Anang, Reza Savitri, dan Ratya Anindita. 2007. “Pemanfaatan Multimedia dalam Pembelajaran sebagai Alternatif Optimalisasi Kkeseimbangan Kkerja Otak Kiri dan Kanan Guna Meningkatkan Kualitas dan Daya Saaing Lulusan”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Suwarni, Endah, Retno Widiastuti, dan Anna Isrowiyah. 2007. “’Accelereted Learning’ sebagai Dasar untuk Meningkatkan Efektivitas dan Efisiensi Proses Balajar Mengajar Akuntasi Pangantar”. Makalah Simposium Nasional 2007. Jakarta 26-27 Juli 2007. Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Pengembangan Materi dan Model Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Media dan Berkonteks Lokal Surakarta dalam Menunjang KTSP

PENGEMBANGAN MATERI DAN MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK BERBASIS MEDIA DAN BERKONTEKS LOKAL SURAKARTA DALAM MENUNJANG KTSP

Slamet Hw dan Nining Setyaningsih
Jurusan Pendidikan Matematika,
FKIP - Universitas Muhammadiyah Surakarta
Jalan A. Yani Tromol Pos 1 Pabelan Surakarta
E-mail: ningsetya@yahoo.com

ABSTRAK

Penelitian pengembangan ini bertujuan untuk menguji derajat keterpakaian model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) Berbasis Media dan Berkonteks Lokal. Ujicoba dilaksanakan di tiga Sekolah Dasar di tiga Kabupaten/Kota yaitu Surakarta, Sukoharjo dan Boyolali. Melalui seting Penelitian Tindakan Kelas (PTK) diperoleh simpulan bahwa: (1) model yang dirancang dapat diimplementasikan dengan baik di semua tingkatan mulai Kelas 1 sampai Kelas 6, (2) media Pembelajaran yang dirancang untuk menunjang proses pembelajaran mudah diperoleh di semua lokasi ujicoba, (3) media pembelajaran yang dirancang untuk menunjang proses pembelajaran mudah digunakan, baik oleh guru maupun siswa, (4) penerapan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal dapat meningkatkan: minat, keaktifan, kreativitas, kemandirian, dan penguasaan konsep siswa, dan (5) ternyata pelaksanaan PMR memerlukan waktu yang lebih lama karena guru-guru belum biasa dengan model yang baru. Dari temuan tersebut dapat dinyatakan bahwa model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal (Surakarta) memiliki derajat keterpakaian yang tinggi, cukup efektif, namun kurang efisien karena memerlukan waktu yang cukup.

Kata Kunci: pembelajaran matematika realistik, berbasis media, dan berkonteks lokal.


PENDAHULUAN

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) mengindikasikan bahwa seorang peserta didik dapat menjadikan dirinya sebagai sumber daya manusia yang handal dan mampu berkompetisi secara global. Untuk ini dibutuhkan kemampuan dan keterampilan tinggi yang melibatkan pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif, serta mampu bekerja sama secara efektif dan efisien. Di dalam pendidikan matematika pola pikir tersebut dikembangkan secara ber kesinambungan karena matematika merupakan ilmu yang memiliki struktur dan hubungan yang kuat antara satu konsep dengan konsep lainnya. Kaidah dan aturan yang berlaku dalam matematika tersusun dalam bahasa yang tegas dan tuntas sehingga pengguna dapat mengkomunikasikan gagasannya secara lebih praktis, sistematis, dan efisien. Dengan demikian,peserta didik yang belajar matematika akan berkembang bukan hanya pengetahuan matematikanya, melainkan juga kemampuan berkomunikasi, bernalar, dan memecahkan masalah. Pada dasarnya belajar matematika haruslah dimulai dari mengerjakan masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari (Matematika Realistik). Melalui mengerjakan masalah matematika yang dikenal dan berlangsung dalam kehidupan nyata, peserta didik membangun konsep dan pemahaman dengan naluri, insting, daya nalar, dan konsep yang sudah diketahui. Mereka membentuk sendiri struktur pengetahuan matematika mereka melalui bantuan guru dengan mendiskusikan kemungkinan alternatif jawaban yang ada. Dalam hal ini jawaban yang paling efisienlah yang diharapkan, tanpa mengabaikan alternatif lainnya.
Pembentukan pemahaman matematika melalui pemecahan masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari akan memberikan siswa beberapa keuntungan. Pertama, siswa dapat lebih memahami hubungan yang erat antara matematika dan situasi, kondisi, dan kejadian di lingkungan sekitarnya. Banyak sarana di sekeliling mereka yang mengandung unsur matematikadi dalamnya. Kedua, siswa terampil menyelesaikan masalah secara mandiri dengan menggunakan kemampuan yang ada. Dalam hal ini pengembangan “Learning for living” dan “Life skill” mendapat porsi yang sebenarnya. Ketiga, siswa membangun pemahaman pengetahuan matematika mereka secara mandiri sehingga menumbuhkembangkan rasa percaya diri yang proporsional dalam bermatematika. Siswa tidak takut terhadap pelajaran matematika.
Ditinjau dari kerangka pengembangan pembaharuan sistem pendidikan, penerapan model pembelajaran berdasarkan potensi lingkungan sekitar adalah sesuai dengan ide desentralisasi pendidikan. Bahwa desentralisasi merupakan upaya perbaikan efektivitas dan efisiensi pendidikan yang diharapkan dapat menumbuh-kembangkan kemampuan daerah untuk meningkatkan potensinya secara mandiri. Oleh karena itu, pengembangan model pembelajaran matematika yang berbasis media dan berkonteks lokal (dari lingkungan nyata yang dikenal siswa) sangat diperlukan guna memperkaya pengetahuan matematika siswa dan mendekatkan siswa padalingkungannya. Pengembangan model pembelajaran ini melibatkan guru dan para ahli pendidikan matematika sehingga diharapkan dapat menghasilkan alur dan strategi pembelajaran
yang efektif dan sesuai dengan kondisi lokal.
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menyarankan dalam penggunaan strategi pembelajaran hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Untuk meningkatkan keefektivan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Selain itu, konstruktivisme dipandang sebagai
alternatif pendekatan yang sesuai. Diasumsikan bahwa siswa sudah memiliki pengetahuan tentang lingkungan dan peristiwa /gejala di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat paraahli pendidikan bahwa inti kegiatan pendidikan adalah memulai pelajaran dari “apa yang diketahui siswa”. Jadi, siswa membangun sendiri pengetahuan dan pemahamannya, dimulai dari gagasan non-ilmiah menjadi pengetahuan ilmiah.
Guru berperan sebagai “fasilitator dan penyedia kondisi” supaya proses belajar dapat berlangsung. Diskusi kelas yang interaktif, demonstrasi dan peragaan prosedur ilmiah, dan pengujian hasil penelitian sederhana merupakan kondisi belajar yang kondusif. Kondisi kelas seperti ini akan memberikan kesempatan pada siswa untuk bertanya, menjawab, berdiskusi, dan mengemukakan pendapat, gagasan, dan ide secara sistematis. Kondisi inilah yang dapat menjadikan sekolah sebagai pusat kehidupan demokrasi yang menghargai kemampuan, menjunjung keadilan, menerapkan persamaan kesempatan, dan memperhatikan keragaman dan perbedaan siswa dan lingkungannya.
Dalam pembelajaran matematika model yang sesuai dengan filosofi konstruktivisme dan kontekstual adalah Pendidikan Matematika Realistik (PMR). Model ini dikembangkan di Belanda, bertumpu pada filosofi Freudenthal (1973) yang menyatakan bahwa matematika adalah aktivitas manusia, dan semua unsur matematika dalam kehidupan sehari-hari harus diberdayagunakan untuk membelajarkan matematika di kelas.
Selain mematematikakan masalah dari kehidupan sehari-hari, siswa diberi kesempatan untuk mematematikakan konsep, notasi, model, prosedur, operasi dan pemecahan masalah matematika lainnya. Sebagai aktivitas manusia, materi matematika harus ditemukan sendiri oleh siswa. Mereka belajar membentuk model (formal atau tidak formal) berdasarkan soal yang disajikan. Pada akhirnya mereka juga akan membentuk sendiri struktur dan pemahaman dan pengetahuan formal matematika mereka. Kesempatan yang diberikan untuk mengerakan soal matematika dari kehidupan sehari-hari dengan pengetahuan dan pemahaman mereka sendiri akan menolong siswa membentuk pemahaman baru akan konsep dan operasi matematika.
Menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam PMR, yaitu (a) “penemuan terbimbing” dan “bermatematika secara maju” (guided reinvention and progressive mathematization), (b) fenomena pembelajaran (didactical phenomenology), dan (c) modelpengembangan mandiri (emerged model). Prinsip pertama “Penemuan terbimbing” berarti siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual ini mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah mate matika yang berlaku (Goffree, 1993). Berdasarkan soal, siswa membangun model dari situasisoal (dalam bentuk formal atau tidak formal), kemudian menyusun model matematika untuk menyelesaikannya hingga siswa mendapatkan pengetahuan formal matematika.
Proses “Bermatematika secara maju” dapat dibagi atas dua komponen, yaitu bermatematika secara horizontal dan vertikal. Dalam bermatematika secara horizontal, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransfer ke dalam soal bentuk matematika untuklebih dipahami. Melalui penskemaan, perumusan, dan pemvisualisasian siswa mencoba menemukan kesamaan dan hubungan soal dan mentransfernya ke dalam bentuk model matematika yang telah diketahui.
Dalam bermatematika secara vertikal siswa menyelesaikan soal kontekstual dengan konsep, operasi, dan prosedur matematika yang berlaku dan dipahami siswa. Aturan, rumusan, dan kondisi yang berlaku dalam matematika harus diterapkan secara benar untuk mendapatkan hasil/jawaban yang benar pula.
Prinsip kedua PMR adalah adanya fenomena pembelajaran yang menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Hal ini dengan mempertimbangkan dua aspek, yaitu pertama kecocokan aplikasi konteks dalam pengajaran dan kecocokan dampak dalam proses penemuan kembali bentuk dan model matematika dari soal kontekstual tersebut. Menurut Goffree (1993), soal kontekstual dalam PMR berfungsi untuk pembentukan konsep, model, pengaplikasian, dan latihan. Prinsip ketiga PMR adalah pengembangan model mandiri (self-developed model) yang berfungsi menjembatani jurang antara pengetahuan matematika tidak formal dan formal dari siswa. Di dalam PMR model matematika dimunculkan dan dikembangkan secara mandiri oleh siswa. Siswa mengembangkan model dengan model-model matematika yang telah diketahuinya. Dimulai dengan menyelesaikan masalah kontekstual dari situasi nyata yang sudah siswa kenal, kemudian ditemukan “model dari” (model of) situasi tersebut (bentuk informal), yang kemudian diikuti penemuan “model untuk” (model for) bentuk tersebut (bentuk formal matematika) hingga mendapatkan penyelesaian masalah dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar.
Dalam hal ini penyiapan Buku Panduan Guru, Buku Siswa, dan Lembar Kerja Siswa adalah material pembelajaran yang dibutuhkan guna pengimplementasian PMR di dalam kelas.


METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan (Developmental research) yang berorientasi pada pengembangan produk dimana proses pengembangannya dideskripsikan seteliti mungkin dan produk akhirnya dievaluasi. Van den Akker (1999) menyebutnya sebagai penelitian formatif dimana aktivitas penelitiannya dilaksanakan dalam proses berulang (cyclic) dan ditujukan pada pengoptimasian kualitas implementasi produk di situasi tertentu. Di dalam pembelajaran matematika penelitian pengembangan ini diterapkan dalam aktivitas ber ulang dari pendesainan dan pengujian terhadap produk material pembelajaran matematika (Gravemeijer, 1999). Aktivitas penelitian ini dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahapan. Ketiga tahapan tersebut digambarkan sebagai berikut:

Variabel dan Alat Pengumpul data untuk kegiatan penelitian ini sebagaimana tercantum
dalam tabel-1 berikut.


Tabel 2. Rincian KegiatanPenelitian





HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan target yang dicapai pada tahap II, maka ujicoba pembelajaran PMR ini dilaksanakan melalui PTK (Penelitian Tindakan Kelas) dengan berbagai pentahapan, yaitu: (1) uji lapangan awal, (2) revisi hasil uji lapangan awal, (3) uji lapangan akhir, (4) hasil uji lapangan akhir, dan (5) hasil revisi akhir.
Karena ujicoba PMR ini meliputi kelas 1 sampai dengan kelas 6, sebagai uji petik laporan ini hanya untuk kelas 1, yaitu laporan sejak uji awal sampai hasil revisi akhir. Karena proses ujicoba menggunakan prosedur yang sama untuk semua tingkatan kelas, hasil ujicoba untuk kelas 2 sampai kelas 6 hanya disajikan dalam bentuk ringkasan. Adapun produk penelitian ini berupa draf Buku Panduan bagi Guru untuk dapat diimplementasikan dalam pembelajaran. Buku Panduan bagi Guru ini sebagai suplemen yang tidak terpisahkan dari laporan hasil penelitian tahun kedua.

1. Ujicoba Kelas 1
Lokasi di SD N Gentan-1, Desa Gentan, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo. Banyak nya siswa: 49 anak terbagi dalam dua kelas, kelas IA sebanyak 24 siswa dan kelas IB sebanyak 25 siswa. Setting ujicoba: menggunakan pendekatan PTK. Temuan masalah sebelum tindakan: (1) rendahnya minat belajar, (2) rendahnya perhatian dalam pembelajaran, dan (3) rendahnya penguasaan konsep bilangan. Akar masalah berupa (1) penggunaan model pembelajaran yang konvensioal dan (2) tidak / kurangnya penggunaan media pembelajaran (yang berkonteks lokal).
Rencana solusi: penerapan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan ber konteks lokal. Materi ajar: Penjumlahan dua angka; media pembelajaran: pensil, penghapus,permen dan kartu bilangan; dan siklus tindakan dilaksanakan tiga putaran. Adapun pelaksanaan tindakan dengan paparan berikut. Putaran-I berupa uji Lapangan model awal. Deskripsi pembelajaran Putaran-I demikian. Pembelajaran dilaksanakan sesuaiRPP atau skenario model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal. Pada putaran I dikenakan pada kelas IA. Siswa dikelompokkan menjadi 4 kelompok.
Guru membagikan LKS dan media pembelajaran (pensil, penghapus, permen, dan kartu bilangan). Selanjutnya, siswa melakukan dalam dua kegiatan sesuai rencana pelaksanaan pembelajaran. Pada kegiatan I, siswa mengumpulkan semua benda-benda yang telah dibawa untuk kelompoknya masing-masing. Siswa berdiskusi menata dan menghitung semua benda di atasmeja. Guru bersama siswa membilang benda untuk mengoreksi hasil kerja kelompok. Pada kegiatan 2, siswa mengambil kartu bilangan yang disiapkan. Guru memberi bimbingan dalam mengurutkan kartu bilangan dari yang terkecil.
Dari hasil pengamatan putaran-I, penggunaan media sudah layak dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa. Hal ini terlihat dari pemanfaatan media dalamg mendukung proses pembelajaran sub pokok bahasan membilang benda, yaitu media dapat membantu siswa belajar dengan menghubungkan dunia nyata. Selain itu, media menjadikan proses pembelajaran lebih interaktif, jelas, dan menarik.
Pada pelaksanaan tindakan putaran-1 awal ini diperoleh beberapa hal yang memerlukan perbaikan, yaitu: (a) Pemanfaatan waktu pembelajaran yang kurang optimal, (b) Jumlah soal latihan yang terlalu banyak, dan (c) Penyesuaian siswa terhadap model pembelajaran masih kurang.
Tindakan Putaran-I Revisi sebagai berikut. Yang diperbaiki pada revisi ini adalah jumlah soal latihan mandiri yang diberikan pada kelas IA yang terlalu banyak sehingga waktu pembelajaran kurang. RPP atau skenario dan materi yang digunakan tidak ada perubahan. Perbaikan putaran I awal ini dilakukan sesuai dengan skenario, yaitu pemanfaatan waktu pembelajaran yang lebih optimal. Selain itu, perbaikan dilakukan pada pengurangan jumlah soal di LKS yang sebelumnya berjumlah 6 soal menjadi 3 soal. Tindakan perbaikan ini dikenakan pada siswa kelas IB.
Setelah pelaksanaan Tindakan Putaran-1 Revisi, diperoleh data bahwa ternyata karakter kelas IA dan kelas IB berbeda. Anak-anak kelas IA lebih semangat dan lebih perhatian dalam pembelajaran. Kendala yang ada di kelas IB adalah beberapa siswa belum dapat membaca sehingga menyebabkan pemahaman siswa kurang maksimal. Anak-anak kelas IA dapat diajak dalam belajar dengan sistem kelompok, sedangkan anak-anak kelas IB belum dapat belajar dengan sistem kelompok. Perbedaan karakter tersebut menuntut guru untuk mengubah cara penyampaian dalam pembelajaran. Hal ini menjadi masukan untuk putaran II.
Pembelajaran pada putaran-II merupakan perbaikan dari putaran-I. Materi yang disampaikan pada putaran ini berbeda dengan materi pada putaran I. Perbedaan tersebut terletak pada kompetensi dasar yang digunakan. Pada putaran II ini kompetensi dasar yang digunakan tentang nilai tempat. Pada putaran II ini semangat belajar siswa meningkat. Hal tersebut dapat terlihat dari antusias siswa dalam mengikuti pembelajaran dengan model ini.
Pada inti pembelajaran, siswa melakukan kegiatan sesuai dengan skenario atau RPP yang telah dibuat. Kegiatan yang dilakukan yaitu siswa mengumpulkan semua benda yang telah dibawa kelompoknya masing-masing berupa: kardus dan penghapus. Seorang siswa sebagai wakil dari setiap kelompok ke depan kelas secara bergantian untuk meletakkan beberapa penghapus di atas kardus. Adapun tugas siswa yang duduk di bangku adalah menjawab pertanyaan dari tugas kelompok yang terdapat pada LKS.
Setelah kegiatan selesai dilakukan, setiap siswa mengerjakan soal latihan secara individu. Walaupun guru masih memberi bimbingan kepada siswa, bimbingan yang diberikan guru pada putaran ini dikurangi daripada pada putaran I. Pada akhir pembelajaran siswa dilibatkan secara aktif untuk membuat simpulan tentang nilai tempat puluhan dan satuan.
Pada putaran II awal ini, siswa terlihat manja, bahkan mereka meminta guru untuk selalu membimbing dalam mengerjakan setiap soal. Hal ini merupakan salah satu yang harus diperbaiki pada tindakan berikutnya. Media yang digunakan pada model pembelajaran matematika realistik sesuai dengan materi yang disampaikan. Media yang digunakan layak dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa pada kompetensi dasar nilai tempat puluhan dan satuan. Peningkatan yang terlihat paling relevan adalah pada keaktivan siswa Hal yang kurang pada putaran II ini adalah tingkat pemahaman siswa yang kurang merata karena ada beberapa siswa yang terbukti belum sepenuhnya paham dengan materi yang telah diajarkan. Hal tersebut terlihat dari hasil nilai latihan yang dikerjakan siswa. Soal latihan mandiri dari LKS yang diberikan di kelas IA harus diperbaiki agar peningkatan pemahaman konsep siswa semakin terlihat jelas.
Perbaikan yang dilakukan antara lain pada skenario pembelajaran dan soal latihan di LKS. Perbaikan pada skenario pembelajaran adalah dihapusnya sistem belajar secara berkelompok. Selain siswa mengerjakan soal latihan di sekolah, mereka juga diberi soal latihan untuk dikerjakan di rumah.
Pada awal pembelajaran, guru mengakrabkan diri, yaitu dengan menyanyi bersama. Semangat siswa pada putaran II ini mulai meningkat. Keakraban yang terjalin merupakan salah satu penyebab meningkatnya semangat siswa. Pelajaran dilanjutkan dengan penyampaian tujuan pembelajaran. Guru mulai menata media di depan kelas dan memberikan motivasi kepada siswa untuk menunjukkan nilai tempat puluhan dan satuan. Siswa secara aktif berebut ke depan kelas untuk menunjukkan nilai tempat puluhan dan satuan.
Dalam putaran ini guru mulai mengurangi bimbingannya kepada siswa hal ini dilakukan agar siswa dapat menemukan konsep mereka sendiri. Selanjutnya, guru memberikan tugas individu untuk mengetahui tingkat pemahaman siswa. Pada akhir pembelajaran siswa dilibatkan aktif dalam memberikan simpulan tentang pelajaran yang telah disampaikan. Model pembelajaran yang digunakan pada pelaksanaan tindakan di kelas IB ini merupakan model yang dikembangkan oleh peneliti sebelumnya. Adapun model yang diterapkan pada kelas IA diputaran II ini merupakan model yang telah dibenahi oleh peneliti yaitu pada sistem pembelajaran kelompok. Hasil yang terlihat lebih maksimal adalah pada kelas IB sehingga pada pokok bahasan ini lebih tepat jika tidak diterapkan sistem kelompok. Hal tersebut juga membuktikan bahwa model dan media yang digunakan layak dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa tentang nilai tempat. Pada putaran II ini, guru belum sepenuhnya melepas bimbingan kepada siswa dalam menemukan konsep mereka sendiri, maka pada putaran III hal tersebut harus dapat terlaksana.
Pada putaran III terlihat berbagai peningkatan dari pemahaman konsep siswa, yaituv meningkatnya jumlah siswa yang aktif dalam menjawab soal di depan kelas, meningkatnya jumlah siswa yang berani dalam mengungkapkan ide atau alasan kepada guru serta meningkatnya jumlah siswa yang aktif dalam memperagakan media. Hal tersebut disebabkan keefektifan penggunaan media telah sesuai (layak). Kecocokan model yang diujikan merupakan salah satu penyebab pemahaman konsep meningkat.
Pada putaran ini siswa sudah dapat menyesuaikan dengan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal. Minat, perhatian, dan motivasi siswa terlihat meningkat dari putaran sebelumnya. Media yang digunakan sesuai untuk membantusiswa menemukan pemahaman konsep mereka tentang bangun datar sederhana. Selain itu pada putaran III ini guru mulai melepaskan siswa dalam mengerjakan soal latihan mandiri.
Akan tetapi, masih terdapat beberapa siswa yang membutuhkan bimbingan guru. Dalam tindakan putaran III revisi pembelajaran dilakukan pada kelas IB dengan materi yang sama sebagai perbaikan putaran III yang telah dilakukan pada kelas IA. Sebenarnya pembelajaran yang dilakukan pada kelas IA hampir sempurna, tetapi skenario pembelajaran yang diterapkan di kelas IA kurang efektif apabila diterapkan dikelas IB. Hal ini disebabkan perbedaan karakter siswa kelas IA dan kelas IB. Perbaikan yang dilakukan pada skenario ini adalah dihapusnya sistem belajar secara kelompok.
Guru memberi masalah yang berhubungan dunia nyata dengan media piring, hanger, dan buku matematika. Beberapa siswa berebut ke depan kelas untuk menyelesaikan masalah tersebut. Guru menunjuk siswa yang mengangkat tangannya lebih dulu. Sembilan orang siswa secara bergantian ke depan kelas untuk meraba media yang telah disediakan, kemudian mereka menyimpulkan benda tersebut sesuai dengan macamnya.
Untuk memantapkan pemahaman siswa, maka guru menggunakan media yang terdapatdi kelas, misalnya jendela, pintu, almari, papan tulis, tutup botol, dan bingkai lukisan. Siswa dengan antusias menyatakan benda-benda tersebut ke dalam macam bangun datar sederhana.
Selanjutnya, siswa mengerjakan soal latihan secara mandiri. Pada akhir pembelajaran, guru dan siswa bersama untuk menyimpulkan macam dan ciri bangun datar sederhana. Pada putaran ini siswa dapat mengerjakan soal latihan tanpa bimbingan guru. Siswa juga terampil dalam menggunakan media pembelajaran. Adanya model tersebut mempermudah siswa menemukan pemahaman konsep mereka tentang bangun datar sederhana. Hal ini mem buktikan bahwa media tersebut layak digunakan untuk materi bangun datar sederhana.
Dari hasil pengamatan Pelaksanaan Model Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Media dan Berkonteks Lokal dari putaran-I sampai putaran-III dapat dijelaskan bahwa untuk mengetahui tingkat pemahaman konsep siswa dapat dilihat dari hasil soal latihan mandiri yang diberikan dalam tiap tindakan. Adapun indikator yang dijadikan patokan untuk menilai apakah penggunaan media lokal dalam model pembelajaran matematika realistik cukup efektif untuk meningkatkan pemahaman konsep siswa dilihat dari kemampuan siswa mengkonstruksikan soal ke dalam model matematika, banyaknya siswa yang ke depan kelas untuk mengerjakan soal, banyaknya siswa yang berani menjawab pertanyaan atau mengungkapkan ide, dan banyaknya siswa yang aktif memanfaatkan sumber belajar yang ada.
Dari putaran I sampai putaran III diperoleh simpulan bahwa: (1) pemahaman konsep siswa, dan (2) nilai rata-rata hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika mengalami peningkatan yang berarti.
Tabel 3. Persentase Hasil Peningkatan Pemahaman Konsep Siswa IA

Grafik-2. Peningkatan Pemahaman Konsep Siswa Kelas 1A dan 1B

Untuk selanjutnya, laporan ringkas pelaksanaan tindakan untuk Kelas-2 sampai Kelas-6 disajikan sebagai berikut.
Berikut hasil ujicoba kelas 2 hingga kelas 6.

2. Ujicoba Kelas 2
Lokasi di SD Muhammadiyah 16 Surakarta. Banyaknya siswa 74 anak, terdiri 34 siswa kelas 2-A dan 40 siswa kelas 2B. Setting ujicoba menggunakan pendekatan PTK. Temuan masalah sebelum tindakan: (1) rendahnya motivasi belajar, (2) rendahnya keaktifan dalam pembelajaran, (3) rendahnya kreativitas dalam belajar, serta (4) rendahnya penguasaan konsep perkalian. Akar masalah: (1) penggunaan model pembelajaran yang konvensioal, (2) tidak / kurangnya penggunaan media pembelajaran (yang berkonteks lokal). Rencana solusi yang dirawarkan adalah penerapan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal. Materi ajar yang dipakai adalah Perkalian sederhana. Media pembelajaran: kelereng dan balon karet warna warni. Siklus tindakan sejumlah tiga putaran. Adapun capaian hasil ujicoba kelas-2 adalah ada peningkatan motivasi, keaktivan, kreativitas, dan pemahaman siswa melalui model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal,seperti pada tabel 4 dan 5 berikut.

3. Ujicoba Kelas 3
Lokasi di SDN Gentan 1 dan 2, Desa Gentan, Kec. Baki Sukoharjo. Setting ujicoba menggunakan pendekatan PTK. Temuan masalah sebelum tindakan: (1) rendahnya perhatian dalam mengikuti pembelajaran, (2) rendahnya keaktifan siswa dalam pembelajaran, dan (3) rendahnya penguasaan konsep operasi pecahan. Akar masalah berupa (1) penggunaan model pembelajaran yang konvensioal, (2) tidak / kurangnya penggunaan media pembelajaran (yang berkonteks lokal). Rencana solusi berupa penerapan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal. Materi ajar yang disampaikan berupa Mengenali pecahan sederhana. Media pembelajaran: roti, piring, pisau penghapus warna-warni, dan kertas. Siklus tindakan sejumlah tiga putaran. Capaian hasil ujicoba kelas-3 tampak pada tabel 6.

4. Ujicoba Kelas 4
Lokasi di SD Negeri 1 Boyolali. Banyaknya siswa 42 anak. Setting ujicoba menggunakan pendekatan PTK. Temuan masalah sebelum tindakan: (1) rendahnya perhatian dalam mengikut pembelajaran, (2) rendahnya keaktifan siswa dalam pembelajaran, dan (3) rendahnya penguasaan konsep operasi pecahan. Akar masalah: (1) penggunaan model pembelajaran yang konvensioal, (2) tidak / kurangnya penggunaan media pembelajaran (yang berkonteks lokal). Rencana solusi berupa penerapan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal. Materi ajar yang disampaikan Mengenali pecahan sederhana – menjumlahkan pecahan. Media pembelajaran: roti, pisau, dan apel. Siklus tindakan sejumlah tiga putaran.

Berikut capaian hasil ujicoba kelas 4. Berdasarkan data yang diperoleh dari tiga komponen, yaitu kemandirian siswa, keaktifan siswa, dan kemampuan siswa yang terdiri dari tiga aspek, yaitu kemampuan siswa dalam menerapkan algoritma, kemampuan siswa dalam mengoperasikan data, dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan soal bentuk verbal pada setiap putaran mengalami peningkatan secara bertahap. Perubahan hasil tindakan belajar siswa selama tiga putaran secara keseluruhan ditunjukkan pada tabel 7 berikut.

5. Ujicoba Kelas-5
Lokasi di SD Negeri 1 Boyolali. Banyaknya siswa 43 anak untuk kelas VA dan 41 anak untuk kelas VB. Setting ujicoba menggunakan pendekatan PTK. Temuan masalah sebelum tindakan: (1) rendahnya perhatian dalam mengikuti pembelajaran, (2) rendahnya keaktifan siswa dalam pembelajaran, dan (3) rendahnya penguasaan konsep operasi pecahan. Akar masalah: (1) penggunaan model pembelajaran yang konvensioal, (2) tidak/kurangnya penggunaan media pembelajaran (yang berkonteks lokal). Rencana solusi: penerapan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal. Materi ajar berupa Mengenali pecahan mengubah pecahan ke bentuk persen. Media pembelajaran: permen, wafer, spidol, dan penghapus.
Siklus tindakan sejumlah tiga putaran. Tabel 8 dan 9 berikut menunjukkan capaian hasil ujicoba kelas 5.

6. Ujicoba Kelas 6
Lokasi di SD Muh.16 Surakarta. Setting ujicoba menggunakan pendekatan PTK. Temuan masalah sebelum tindakan: (1) rendahnya perhatian dalam mengikuti pembelajaran, (2) rendahnya keaktifan siswa dalam pembelajaran, dan (3) rendahnya penguasaan konsep operasi pecahan.
Akar masalah: (1) penggunaan model pembelajaran yang konvensioal, (2) tidak / kurangnya penggunaan media pembelajaran (yang berkonteks lokal). Rencana solusi: penerapan model pembelajaran matematika realistik berbasis media dan berkonteks lokal. Materi ajar yang disampaikan berupa Membaca dan membuat denah. Media pembelajaran: denah sekolah, denah rumah, dan peta. Siklus tindakan sejumlah tiga putaran. Untuk capaian hasil ujicoba kelas 6, tampak pada tabel 10 dan 11.


SIMPULAN

Berdasarkan hasil ujicoba di lapangan pelaksanaan Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Media dan Berkonteks Lokal di wilayah tiga Kabupaten/Kota, yaitu Kota Surakarta, kabupaten Sukoharjo, dan Kabupaten Boyolali diperoleh simpulan:
(1) Model Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Media dan Berkonteks Lokal yang dikembangkan pada pada penelitian tahap pertama ternyata dapat diimplementasikan dengan baik di semua tingkatan kelas Sekolah Dasar (Kelas 1 sampai Kelas 6),
(2) Media Pembelajaran yang dirancang untuk menunjang proses pembelajaran mudahdiperoleh di semua lokasi ujicoba,
(3) Media pembelajaran yang dirancang untuk menunjang proses pembelajaran mudah digunakan, baik oleh guru maupun bagi siswa,
(4) Penerapan Model Pembelajaran Matematika Realistik Berbasis Media dan Berkonteks Lokal dapat meningkatkan: minat, keaktivan, kreativitas, kemandirian, dan penguasaan konsep siswa, dan
(5) Memerlukan waktu yang lebih lama karena guru-guru belum biasa dengan model yang baru.
Atas dasar simpulan diatas dapat dinyatakan bahwa model pembelajaran matematika realistik (PMR) berbasis media dan berkonteks lokal Surakarta memiliki derajat keterpakaian yang tinggi, cukup efektif, namun kurang efisien karena memerlukan waktu yang cukup.


DAFTAR PUSTAKA

Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. Dordrecht, The Netherlands: Kluwer Academic. bGoffree, F. 1993. HF: “Working on Mathematics Education”. Educational Studies in Mathematics, 25 (1-2), 21-58.

Gravemeijer, Koeno. 1994. Developing Realistic Mathematics Education. Utrecht, The Nederlands: Freudenthal Institute.

Van den Akker, Jan. 1999. Principles and Methods of Development Research. In Jan van den Akker et al. (Ed.) Design Approaches and Tools in Education and Training pp. 1-14. Dordrecht: kluwer Academic Publishers

 
Free Graduate Cursors at www.totallyfreecursors.com